KH Ruhiat
adalah tokoh terkenal pada zamannya karena dialah Pendiri Pasantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya. Namun generasi
saat ini kurang lagi mengenal ketokohannya. Bahkan puteranya yaitu KH Iyas Ruhiat lebih dikenal apalagi
setelah menduduki jabatan tertinggi di NU sebagai Rais Aam.
Hal itu bisa di mengerti, kiai sepuh tersebut telah meninggal 38 tahun lalu.
Tanggal 17 Dzulhijjah 1436 H yang bertepatan dengan 1 Oktober 2015, adalah haul
(peringatan hari wafat) ke-39 KH Ruhiat.
Pasantren Cipasung
saat ini merupakan pasantren terbesar dan paling berpengaruh di Jawa Barat.
Perannya dalam penyiaran agama, pengembangan masyarakat dan menjaga harmoni
sosial sangat besar. Selain keteguhannya mengembangkan pasantren yang responsif
pada perkembangan dunia pendidikan, pada masa penjajahan, Ajengan Ruhiat juga
seorang patriot yang mengorbankan tenaga dan pikirannya untuk kemerdekaan
Republik Indonesia.
AJENGAN PATRIOT
Jika syarat seorang
pahlawan nasional adalah mendukung kemerdekaan sejak awal mula diproklamasikan,
maka Ajengan Ruhiat (AR) memenuhi syarat itu. Tak lama setelah berita
Proklamasi Kemerdekaan sampai ke Cipasung, AR segera pergi ke kota Tasikmalaya.
Dengan menghunus pedang, ia berpidato di babancong, podium terbuka yang tak
jauh dari Pendopo Kabupaten. Ia menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan yang
sudah diraih cocok dengan perjuangan Islam, oleh karenanya harus dipertahankan
dan jangan sampai jatuh kembali ke tangan penjajah. Ia meneriakkan pekik
merdeka seraya menghunus pedangnya itu. Dia tokoh Islam pertama di Tasikmalaya
yang melakukan hal itu.
Ketika
pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berlangsung, ia tak goyah sekalipun
gangguan dari pihak DI sangat kuat. Ia menolak tawaran menjadi salah seorang
imam DI. Ia menampik gerakan yang disebutnya 'mendirikan negara di dalam negara' itu, karena melihatnya sebagai bughat
(pemberontakan) yang harus ditentang. Puncaknya ia hampir di culik oleh satu
regu DI, tetapi berhasil digagalkan. Akibat sikapnya yang tegas itu ia
mengalami keprihatinan yang luar biasa, karena terpaksa harus mengungsi setiap
malam hari, selama tiga tahun lamanya.
Kegigihannya
sebagai seorang pejuang dibuktikan dengan pernah dipenjara tak kurang dari
empat kali. Pertama, pada tahun 1941 ia di penjara di Sukamiskin selama 53 hari
bersama pahlawan nasional KH Zainal
Mustafa. Alasan penahanan ini karena Pemerintah Hindia Belanda cemas
melihat kemajuan Pasantren Cipasung dan Sukamanah yang dianggap dapat
mengganggu stabilitas kolonial. Kedua, bersama puluhan kiai ia dijebloskan ke
penjara Ciamis. Ia hanya tiga hari di dalamnya karena keburu datang tentara
Jepang yang mengambil alih kekuasaan atas Hindia Belanda tahun 1942. Ketiga,
tahun 1944 ia dipenjara oleh pemerintah Jepang selama dua bulan, sebagai dampak
dari pemberontakan KH Zainal Mustofa di Sukamanah. Pada saat itu, Ajengan
Cipasung dan Sukamanah lazim disebut dua serangkai dan sama-sama aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Kecintaan sang
Ajengan pada NU sangat mendalam, oleh karena itu pada saat Ajengan Sukamanah
berbulat tekad untuk melawan Jepang, keduanya membuat kesepakatan. Ajengan
Sukamanah tidak akan melibatkan NU secara organisasi dan perjuangannya bersifat
pribadi, agar NU tidak menjadi sasaran tembak tentara Jepang. Secara
organisatoris, Ajengan Sukamanah menyatakan keluar dari NU (Aiko
Kurasawa,1993). Dengan kesepakatan ini, jika terjadi akibat buruk dari
perlawanannya–sesuatu yang sudah mereka perhitungkan–, organisasi NU tidak akan
terbawa-bawa dan AR tetap bisa mengembangkan NU di Tasikmalaya dan Jawa Barat.
Kesepakatan itu dibuktikan oleh Ajengan Ruhiat lewat keterlibatannya di NU
sampai ke tingkat pusat.
Karirnya di PBNU
dibuktikan dengan menjadi A'wan (pembantu) Syuriah PBNU periode 1954-1956 dan
1956-1959, serta perkembangan NU di Tasikmalaya dan Jawa Barat yang di tunjang
oleh para alumni Cipasung. Keempat, ia dijebloskan ke penjara Tasikmalaya
selama sembilan bulan pada aksi polisionil kedua, dan dibebaskan setelah
penyerahan kedaulatan. Ini membuktikan bahwa AR seorang non-kooperatif sehingga
sangat dibenci penjajah yang membonceng pasukan NICA itu. Sebelum masuk penjara
yang terakhir itu, sepasukan tentara Belanda datang ke pasantren pada waktu ia
sedang solat ashar bersama tiga orang santrinya. Tanpa peringatan apapun,
tentara Belanda itu memberondongkan peluru ke arah mereka yang sedang solat. AR
luput dari tembakan, tetapi dua santrinya tewas dan seorang lagi cedera di
kepala.
Mungkin ia tidak
disebut sebagai pahlawan karena tidak pernah menduduki jabatan dalam
pemerintahan, sebab konsisten memilih jalur pendidikan pasantren sebagai
pengabdiannya, bahkan sebagai tarekat-nya. "Tarekat Cipasung adalah
mengajar santri," ujarnya. Atau karena tidak pernah menjadi politisi yang
berjuang di parlemen. Sebab katanya, "Biarlah bagian politik itu sudah ada
ahlinya, Akang memimpin pasantren saja, jangan sampai semua ke politik. Kalau pasantren
ditinggalkan, bagaimana nanti jadinya negara merdeka ini kalau penduduknya
tidak berakhlak agama?" Melihat track record-nya
di atas, sesungguhnya tidak berlebihan jika ajengan patriot itu mendapat
pengakuan sebagai Pahlawan Nasional.
RESPONSIF dan TERBUKA
Ajengan Ruhiat
lahir pada 11 Nopember 1911 dan wafat 28 Nopember 1977. Hari wafatnya
bertepatan dengan 17 Dzulhijjah 1397, dan perhitungan menurut kalender Hijriah
inilah yang dijadikan patokan peringatan haul-nya. Ia adalah generasi yang
mengalami pedih-perihnya penghinaan terhadap kelompok santri oleh penjajah
Belanda dan antek-anteknya. Santri digolongkan sebagai kaum tradisional, kaum
sarungan yang berpikiran kolot. Suatu penghinaan yang kemudian diteruskan oleh
mereka yang menamakan dirinya kaum modern di kemudian hari, bahkan sampai hari
ini. Sebagai jawaban atas penghinaan itu, ia bersikap meniru gaya berpakaian
kaum modern. Dalam acara resmi, AR selalu berpakaian rapi, mengenakan jas,
pantalon, lengkap dengan dasi. Ketika di gugat sebagian orang, ia menjawab,
"Untuk mengimbangi, agar jangan sampai kita disebut bangsa yang tak punya
cita-cita, dan saya menghargai ilmu agama agar tidak dihina oleh orang lain."
'Perlawanan' atas
penghinaan itu selalu dirayakan secara meriah di Pasantren Cipasung pada era
kepemimpinannya. Yaitu pada saat khataman Jam'ul
Jawami', sebuah kitab yang dianggap paling sulit di kaji oleh santri.
Selain menyembelih kambing dan ritual khataman lainnya, ia bersama santri yang
telah khatam (lulus) berpose bersama dengan busana 'modern' itu.
Sebagai jawaban
bahwa Pasantren Cipasung responsif terhadap perkembangan pendidikan, ia memelopori
pendirian sekolah umum sejak tahun 1950. Ia merintis pendidikan dasar hingga
perguruan tinggi. Untuk perintisan hampir semua lembaga pendidikan formal itu,
ia di dukung oleh operator lapangan yang sangat tangguh, yaitu Mohammad Ilyas, putera keduanya.
Ilyas-lah yang tisusut tidungdung, bekerja tanpa mengenal lelah, mengurusi
semua tetek bengek perizinan. Ilyas juga mengambil alih pengajian pasantren,
ketika ayahnya di penjara dan mengungsi, sehingga pasantren Cipasung tak pernah
putus pengajian dan santri, sejak didirikan tahun 1932 hingga hari ini. Kerja
keras Ilyas itulah yang memudahkan adik-adik dan keluarganya di kemudian hari,
untuk mengelola semua lembaga pendidikan di Cipasung.
AR termasuk pribadi
yang terbuka atas segala perkembangan informasi dalam berbagai bidang. Selain
kitab kuning, koleksi bukunya mencakup bidang politik, ekonomi, dan tata
negara. Ia menganggap Islam sebagai ajaran dinamis yang selalu harus bisa
menjawab tantangan zaman. Dalam catatan Atang Mansur, Ajengan Ruhiat kerap
mengutip pendapat al-Mustarwalidz
al-Katib al-Injily al-Kabir yang terdapat dalam Tafsir al-Jawahir karya Thanthawi Jauhari. "Setiap agama yang
tidak bisa mengiringi laju peradaban, maka kesampingkan saja, sebab agama
tersebut hanya akan merepotkan para pemeluknya. Agama yang haq adalah Islam
(yang berpedoman al-Quran). Dan al-Quran ialah kitab (yang memuat persoalan) 1)
keagamaan, 2) ilmu pengetahuan, 3) sosial kemasyarakatan, 4)
pendidikan-pengajaran, 5) etika, dan 6) sejarah, (yang akan abadi) hingga hari
kiamat." Tetapi cara berpikir AR yang sangat aprogresif tadi luput dari amatan
peneliti tentang kyai dan NU. Padahal para kiai seperti dia itulah merupakan
akar progresifitas pemikiran Islam pasantren.
Pandangannya atas
perkembangan politik juga sangat kritis. Ketika Bung Karno mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, secara spontan AR berkata kepada sejumlah santrinya,
"Setiap umat yang kembali pada prinsip terdahulu (yang sudah sepakat
ditinggalkan) dan tidak mengikuti segala yang berlaku sesuai perkembangan
zaman, maka Allah akan merusaknya." Dengan berseloroh ia mencontohkan
bahwa orang yang kembali menumbuk padi padahal sudah ada mesin giling, maka ia
akan kerepotan, pegal linu dan kecapekan.
Demikian pula
dukungannya pada pilihan politik NU, diambilnya tanpa reserve sehingga
kebijakan NU dapat disosialisasikan dengan cepat di wilayah Priangan Timur.
Misalnya dalam menanggapi konsep Nasakom, ia mengatakan, "Kalau kita tidak
menerima Nasakom, PKI akan
berkacak pinggang. Menerima Nasakom adalah satu siasat NU yang membuat PKI lupa
daratan sehingga lupa akan bahayanya. Mereka merasa ada yang mendukung atas
tujuan taktiknya, padahal secara diam-diam orang NU telah siap menghadapi apa
yang akan terjadi. Buktinya, ketika orang lain bingung saat PKI melakukan kup,
orang NU sudah langsung bisa menetapkan bahwa itu gerakan PKI. Buktinya
langsung tanpa ragu meminta pemerintah untuk membubarkan PKI. Alhamdulillah
oleh pemerintah Orba dapat dikabulkan, PKI dibubarkan."
Setelah peristiwa
65 terjadi, AR tidak terlibat menoreh 'luka sejarah'. Di sekitar Cipasung
konflik NU-PKI tak setajam di Jawa Tengah atau Jawa Timur. 'Serangan' pihak PKI
berkisar pada cemoohan, misalnya orang yang sedang mengaji di sebut sedang 'menggonggong'.
Memang, belajar dari kasus serangan DI/TII ia sempat mengaktifkan kembali
latihan pencak silat, tetapi hanya untuk berjaga-jaga. Bukti bahwa Cipasung tak
terlalu terganggu suasana politik waktu itu, ialah peresmian Fakultas Tarbiyah
yang kemudian menjadi Institut Agama Islam Cipasung
(IAIC), pada tanggal 25 September 1965. Tarikh ini juga menunjukkan bahwa
Perguruan Tinggi di Cipasung berdiri tiga tahun mendahului IAIN Sunan Gunung
Djati Bandung. Di situlah ia menunjukkan aprogresivitas pemikirannya.
Setelah pemerintah
Orde Baru tampil, tokoh-tokoh yang sebelumnya ragu kepada NU banyak yang datang
ke Cipasung. Mereka menyatakan 'pertobatan' dan percaya bahwa NU tidak pernah
punya tujuan khianat dan merongrong kepada bangsa dan negara Indonesia, atau
berniat mendirikan negara dalam negara. Mereka kemudian menitipkan sanak
saudaranya untuk belajar di Cipasung. "Bagaimana kalau keluarga, anak-anak
Anda nantinya menjadi NU?" tanya AR. Kemudian mereka menjawab, "Tidak
apa-apa kalau mereka menjadi NU sebab kami percaya NU tidak pernah ada maksud
merongrong negara, nusa, dan bangsa."
AR memang dikenal
dekat dengan tokoh-tokoh NU dan pasantrennya menjadi persinggahan para tokoh
itu jika mengunjungi wilayah Priangan Timur. Ia juga menjadi salah satu teman
baik KHA Wachid Hasyim. Menurut catatan Saifuddin Zuhri (1987), semua sahabat dekat Pak Wachid biasanya intensif
saling surat-menyurati untuk merespon berbagai perkembangan pasantren dan
situasi politik nasional. Dalam biografi KH Masykur yang ditulis oleh Soebagijo
I.N. (1982: 97), terdapat sebuah foto yang mengabadikan kunjungan Kiai Masykur,
Kiai Wachid ke Cipasung.
Dengan cara
pandangnya yang terbuka atas berbagai perkembangan duniawi, ia mendorong
santrinya yang ingin terlibat dalam pengelolaan negara, baik melalui jalur
politik maupun birokrasi. Hal itu sebagai bagian dari keikutsertaan mengisi
kemerdekaan, setelah sebelumnya kiai dan santri ikut merebut dan mempertahankan
kemerdekaan itu. Karena itu, banyak alumni Cipasung yang menjadi politisi dan
mengisi kebutuhan birokrasi terutama di Jawa Barat.
Namun demikian ia
juga sangat mendukung santrinya yang ingin menjadi ajengan dan membuka pasantren.
Misalnya kepada santri asal Garut bernama Memed Sopandi, ia berpesan empat hal.
Pertama, sekalipun santrinya hanya satu orang tetap
harus diajar dengan sungguh-sungguh.
Kedua, jangan berdagang di pasar.
Ketiga, jangan jadi aparat pemerintah.
Keempat, jangan terlalu suka menerima undangan
keluar pasantren sehingga sering meninggalkan pengajian.
Lalu ia berkata, "Pulanglah,
kalau ada kesulitan dalam pengajian, jangan kembali ke sini, tanya saja
Munjid!" Munjid adalah kamus berbahasa Arab karya seorang non-muslim,
Louis Ma'luf, di sana terdapat berbagai informasi, baik mengenai keilmuan
agama, ilmu sosial maupun ilmu alam, binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Semua pesan itu
tentu saja terlebih dahulu sudah dipraktikkan secara konsisten olehnya. Bahkan
pada masa genting ketika pasukan Belanda kerap berpatroli ke Cipasung. Jika
patroli datang, ia berpura-pura menjadi petani di sawah. Setelah patroli pergi,
ia segera menepi dan menuju dangau terdekat untuk kemudian memberikan pengajian
pada santri yang mengikutinya. Ia tak pernah berhenti mengajar di pasantren
kecuali saat berada di dalam penjara. Ia juga menolak undangan pengajian dari
luar daerah di malam hari, karena khawatir akan meninggalkan jadwal
pengajiannya setelah shubuh. Pernah suatu ketika warga NU dari Karawang
mendesaknya memberikan pengajian di malam hari. Ia menyetujui permintaan itu
setelah shohibul hajat berjanji akan mengantarkannya kembali ke Cipasung
sebelum waktu shubuh tiba.
Mudah-mudahan,
generasi pengelola Cipasung yang akan datang, dapat lebih memajukan lembaga
pendidikan yang dirintis Ajengan Ruhiat, sehingga patriotismenya terus
bergelora, dan wasiatnya agar "Jangan sampai ada
sebutan 'bekas pasantren' tapi harus terus lebih maju",
dapat dipenuhi secara istiqomah.
Amiin yaa Robbal 'Aalamiin.
Sekian
& Semoga Bermanfaat…
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar