"Larangan Menuduh Kafir atau Musyrik"
=================================

Ikatan saudara yang dimaksud adalah sabda Rasulullah SAW: "al-muslimu akhu al-muslimi laa
yadzlimuhu wa laa yuslimuhu", artinya: "Seorang muslim adalah
bersaudara dengan Muslim lainnya. Ia tidak boleh menganiayanya dan
menghilangkan keselamatannya" (HR al-Bukhari No 6437).
Hadis ini juga selaras dengan firman Allah yang artinya:
"Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat
rahmat" (al-Hujurat: 10)
Kriteria Kafir dan Musyrik
Kafir dan Musyrik adalah dua dosa besar dalam Islam. Kafir
memiliki banyak bentuk, dimana setiap seseorang berbuat kekafiran maka
hilanglah keimanannya. Artinya Kafir adalah lawan kata dari Iman. Maka jika
seseorang tidak mempercayai rukun iman yang 6, atau ingkar pada rukun Islam
yang 5 dan lainnya, maka ia disebut Kafir. Sedangkan Musyrik hanya ada 1
kriteria, yaitu berkeyakinan ada Tuhan selain Allah atau meyakini adanya Tuhan
bersama Allah. (Abu Hilal al-'Askari, al-Furuq al-Lughawiyyah 454).
Fenomena menuduh kafir sebagaimana dalam tema ini, sebenarnya
sudah terjadi sejak dahulu. Misalnya Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali (450-505
H / 1058-1111 M), beliau pun pernah dituduh kafir oleh kelompok yang anti
dengan tasawwufnya Imam al-Ghazali. Maka beliau memberi bantahan dengan
mengarang sebuah kitab yang bernama Faishal at-Tafriqah yang intinya melarang
menuduh kafir kepada orang lain lantaran perbedaan madzhab. Menurut beliau orang yang disebut
Kafir adalah orang yang inkar (tidak percaya) dengan ajaran Islam yang dibawa
oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadis.
Ada begitu banyak riwayat hadis tentang larangan menuduh Kafir
atau Musyrik, diantaranya: Rasulullah Saw bersabda: "Kaffu 'an ahli Laailaha illallah Laa tukaffiruuhum bi dzanbin. Fa
man kaffara ahla Lailaha illallah fa huwa ila al-kufri aqrabu".
Artinya: "Menghindarlah dari umat Islam yang mengucapkan kalimat tauhid
‘Tiada Tuhan selain Allah’. Jangan kau hukumi kafir lantaran mereka melakukan
sebuah dosa. Barangsiapa yang mengkafirkan mereka, maka dia lebih dekat dengan
kekufuran” (HR. Thabrani
dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir No. 12912 dari Ibnu Umar).
Juga sabda Rasulullah Saw: "Laa
tasyhaduu 'ala ummatikum bi syirkin wa laa tukaffiruuhum bi dzanbin",
artinya: “Janganlah kalian bersaksi atas kesyirikan umat kalian. Dan janganlan
kalian menghukumi kafir pada mereka lantaran melakukan sebuah dosa…” (HR. Abd
al-Razzaq dalam kitab al-Mushannaf No. 9611 dari Hasan).
Dalam Islam ada sebuah aliran sesat bernama Khawarij (sekarang
sudah punah) yang menilai bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar, adalah
Kafir. Namun dalam Madzhab Ahli Haqq (Madzhab yang benar), orang muslim
tidaklah menjadi kafir lantaran melakukan sebuah dosa, seperti membunuh,
berzina dan lainnya (Imam an-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim 2/48).
Jika dalam dosa-dosa yang telah dipastikan dalam Islam tidak boleh
dituduh Kafir, apalagi masalah yang menjadi khilaf para ulama sejak dulu,
misalnya Tawassul, Ziarah Kubur dan sebagainya. Jelas tidak boleh menuduh
Kafir. Bahkan anehnya saat ini ada sebuah fitnah yang sangat kejam atas tuduhan
sebagian ulama Arab Saudi yang menilai bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab (yang
sudah dinash dalam al-Quran masuk Neraka) lebih bersih keimanannya daripada
umat Islam saat ini yang gemar melakukan Tawassul, Istighatsah, Ziarah Kubur
dan sebagainya. Bagaimana bisa mereka menuduh seperti itu sementara Rasulullah SAW
yang memiliki rasa kasih sayang kepada umatnya tidak pernah berkata yang
demikian?
Tuduhan Kembali Pada Pelaku
Konsekwensi yang harus diterima bagi orang-orang yang mudah
menuduh Kafir atau Musyrik adalah meraka yang berhak menerima predikat Kafir
dan Musyrik. Rasulullah SAW bersabda: "Idzaa
qaala ar-rajulu 'Yaa Kaafiru' fa qad baa'a bihi ahaduhumaa", artinya:
"Barangsiapa berkata kepada saudaranya 'Wahai Kafir', maka sungguh
perkataan itu kembali kepada salah satunya" (HR al-Bukhari No 5638 dari Ibnu Umar).
Hadis ini diperkuat dengan hadis lain: "Laa yarmii rajulun rajulan bil fusuqi wa laa yarmiihi bil kufri
illa irtaddat 'alaihi in lam yakun shaahibuhu kadzalika". Artinya:
"Tidaklah seseorang menuduh kepada orang lain dengan kefasikan (dosa
besar) atau dengan kekufuran, kecuali tuduhan itu kembali kepada penuduh, jika
yang dituduh tidak sesuai dengan tuduhannya" (HR al-Bukhari No 5585 dari
Abu Dzarr).
Bagaimana bisa tuduhan itu kembali kepada pelaku atau penuduh?
Syaikh al-Qasthalani menjawab: "Sebab, jika yang menuduh itu benar, maka
orang yang dituduh adalah kafir. Namun jika penuduh tersebut dusta (karena yang
dituduh tidak kafir), maka penuduh tersebut telah menjadikan iman sebagai
kekufuran. Dan barangsiapa yang menjadikan iman sebagai kekufuran, maka ia
telah Kafir. Hal ini sebagaimana penafsiran al-Bukhari" (Irsyaad as-Saari
'ala Syarh al-Bukhaarii 9/65)
Para Sahabat Tidak Menuduh Kafir atau Musrik
Atsar shahabi dari
Anas juga menyebutkan bahwa: “Yazid al-Raqqasyi bertanya pada sahabat Anas:
Wahai Abu Hamzah. Sesungguhnya orang-orang bersaksi bahwa kita adalah ‘kufur
dan syirik’. Anas berkata: Merekalah makhluk yang paling jelek” (Diriwayatkan
oleh Abu Ya’la al-Mushili, dalam al-Musnad IV/132).
Begitupula sahabat Jabir bin Abdillah: “Dari Abu Sufyan: Saya
bertanya kepada Jabir yang sedang akan ke Makkah, ia berada di Bani Fihr;
‘Apakah kamu memanggil dengan sebutan Musyrik kepada seseorang yang (salat)
menghadap ke Qiblat?’ Jabir menjawab: Saya berlindung kepada Allah. Dia
terkejut. Lalu bertanya lagi: ‘Apakah kamu memanggil dengan sebutan Kafir
kepada mereka?’ Jabir menjawab: Tidak!’ (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la
al-Mushili, dalam al-Musnad IV/207, dengan sanad yang sahih).
Dua sahabat Rasulullah ini menolak tuduhan Kafir atau Musrik.
Sahabat Anas yang dituduh Kafir, justru menolaknya. Sementara Sahabat Jabir
juga menolak untuk mengatakan Kafir dan Musyrik kepada umat Islam yang Salat
menghadap Ka'bah.
Penutup
Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya yang paling Aku
takutkan bagi kalian adalah seseorang yang membaca al-Quran, sehingga ketika
dia terlihat kebesarannya, pembelaannya untuk Islam, kemudian ia terlepas dan
mencampakkannya di belakangnya, membawa pedang kepada tetangganya dan
menuduhnya syirik. Saya (Khudzaifah) bertanya: Ya Nabiyyallah, siapaka
diantaranya yang lebih berhak pada kesyirikan, yang dituduh ataukah yang
menuduh? Rasulullah Saw menjawab: Yang menuduh" (HR Ibnu Hibban 1/282 dari
Khudzaifah, dengan sanad yang hasan).
Dengan hadis-hadis diatas, maka menjadi pedoman dakwah kita
bersama agar tidak mudah menuduh Kafir dan Musyrik kepada semua Umat Islam.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sumber : TV9 NUSANTARA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar