Bismillaahir Rohmaanir Rohiim,
Bughot, dalam khazanah fiqih
berarti "pemberontakan". Berasal dari akar kata bagha, yang berarti "melampaui
batas". Bughot dilarang menurut fiqih dan pelakunya harus diperangi. Hal
ini berbeda dengan kritik. Kritik adalah bentuk perlawanan, dan tidak semua
kritik kepada penguasa merupakan bughat.
Sedangkan yang di sebut bughat
menurut Khatib Syarbini dalam kitab al-Iqna'
fi Halli Alfazh Abi Syuja' harus memenuhi tiga syarat :
– Pertama, mereka yang memberontak memiliki kekuatan.
Kekuatan
ini menyatukan senjata, logistik, massa, wacana, dan sejenisnya.
– Kedua, mereka keluar dari ketaatan terhadap penguasa yang sah.
Punya
kekuatan saja, kalau tidak keluar dari ketaatan terhadap penguasa atau imam
yang sah, tidak dikategorikan bughat.
– Ketiga, mereka menggunakan penafsiran atau ta’wal yang batil.
Maksudnya,
dalam memerangi imam dan penguasa yang sah mereka menggunakan penafsiran
tertentu untuk membenarkannya.
Sementara penafsiran itu bila
diuji secara meyakinkan tidak memiliki validitas yang tepat, bila
dipertimbangkan dari sisi kemaslahatan masyarakat, kemungkinan kekacauan,
anarki, dan lain-lain.
Fenomena bughat masuk dalam
soal kepemimpinan politik atau al-imârah. Dalam soal ini prinsipnya jelas, seperti disebutkan
dalam ayat: "Taatlah kepada Allah,
taatlah kepada Rasul, dan ulil amri di antara kamu." (QS an-Nisa', 4:
59). Di sini ulil amri salah satunya adalah penguasa yang sah, dan karenanya
harus ditaati.
Prinsip ketaatan terhadap
penguasa yang sah merupakan salah satu hal penting dalam kepemimpinan. Ketaatan
di sini bisa bermakna tidak keluar untuk mengangkat senjata, meskipun tidak
sesuai dengan aspirasinya. Prinsip ketaatan ini untuk menjaga kelangsungan
sistem sosial agar tidak terjadi anarki. Kalau ingin melakukan perbaikan, dalam
bahasa Imam al-Ghazali disebutkan, untuk membangun sebuah bangunan, tidak perlu
merobohkan sebuah kota.
Beberapa hadits juga
menyebutkan prinsip ketaatan ini, diantaranya: "Hendaklah kamu mendengarkan dan mematuhi biarpun yang diangkat
untuk memerintah kamu seorang hamba sahaya bangsa Habsyi, rambutnya bagai
anggur kering." (HR Bukhari).
Hanya saja, juga harus
ditegaskan bahwa perintah penguasa tidak boleh ditaati kalau berkaitan dengan
kemaksiatan. Ini sesuai dengan hadits Nabi yang berbunyi: "Seorang muslim perlu mendengarkan dan mematuhi perintah, yang
disukainya dan tidak disukainya, selama tidak disuruh mengerjakan maksiat
(kejahatan). Tetapi apabila dia disuruh mengerjakan maksiat, tidak boleh didengar dan ditatati." (HR Bukhari). Di
sinilah kemudian perlunya menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, kritik, dan
nasihat.
Sedangkan perintah memerangi
mereka yang memberontak, di antaranya merujuk pada ayat: "Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Tapi, kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah." (QS al-Hujurat ayat
9).
Dalam sebuah hadits juga
disebutkan: "Barang siapa yang
mengangkat senjata pada kami, maka dia bukan dari kalangan kami (pengikut
Muhammad)." (HR Muttafaq Alaih). Juga, "Barang siapa yang datang kepadamu, dan persoalanmu berada di
tangan seorang yang menghendaki ingkar kepadamu atau memisahkan dari jama'ah,
maka bunuhlah dia." (HR Muslim).
Meski begitu, tidak semua jenis
perlawanan terhadap pemerintah yang sah harus dikategorikan sebagai pemberontak.
Ini sudah sangat jelas. Kritik, misalnya, tidak bisa semena-mena dikategorikan
sebagai pemberontakan. Kritik harus di pandang sebagai bagian dari amar ma'ruf nahi munkar. Sebagai amar ma'ruf nahi munkar, kritik bisa juga dalam
bentuk sebuah demonstrasi. Contoh dalam tradisi Islam adalah demonstrasi yang
berhasil menumbangkan Khalifah Utsman, dan para demonstran mengangkat Imam Ali
sebagai khalifah.
Sebagai bentuk amar ma'ruf,
kritik dan upaya perbaikan juga harus dilakukan secara berjenjang dan mempertimbangkan
posisi: apabila seseorang memiliki kekuasaan, maka ia harus bisa mengubah
keadaan dengan kekuasaannya. Bila hanya mampu dengan lisan, maka perbaikan
harus dilakukan dengan lisan. Bila hanya mampu dengan doa, maka perbaikan
mungkin dilakukan dengan doa. Yang terakhir adalah selemah-lemah iman.
Jadi, sangat jelas bughat
hukumnya harus diperangi. Tapi, bughat harus dibedakan dengan kritik dan amar
ma'ruf atas penguasa. Dan, kritik sendiri tidak bisa dikategorikan sebagai bughat sejauh tidak
memenuhi tiga syarat di atas.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sumber : Situs Resmi Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar