=========================================
Memadukan Kitab
Kuning dan Ilmu Kanuragan Buntet hingga saat ini di kenal sebagai pasantren yang
sangat prestisius hingga sekarang, tidak hanya dari segi mutu pendidikan yang
disajikan, sebagai pasantren salaf yang mengajarkan berbagai kitab kuning
bertaraf babon, tetapi pasantren ini juga memiliki peran-peran sosial politik
yang diambil oleh para pemimpinnya. Kualitas pengajian dan kharisma seorang
kiai merupakan daya tarik utama dalam system pendidikan pasantren Salaf. Dan ini
tetap dipertahankan dalam sistem pendidikan pasantren Buntet sebabagi sosok pasantren
salaf yang tidak pernah kehilangan pesona dan peran dalam dunia modern.
Tersebutlah saat ini
peran sosial politik yang diambil Kiai Abdullah Abbas, selalu menjadi rujukan
para pemimpin nasional. Tidak hanya karena pengikutnya banyak, tetapi memang
nasehat dan pandangannya sangat berisi. Semuanya itu tidak diperoleh begitu
saja, melainkan hasil pergumulan panjang, yang penuh pengalaman dan pelajaran,
sehingga membuat para tokoh matang dalam kancah perjuangan. Bukan sekadar tokoh
yang berperan karena mengandalkan popularitas keluarga atau keturunannya.
Semuanya itu tidak terlepas dari peran para pendahulu pasantren Buntet ayah
Kiai Abdullah Abbas sendiri yaitu Kiai Abbas, seorang ulama besar yang mampu
memadukan kitab kuning dan ilmu kanuragan sekaligus, sebagai sarana perjuangan membela umat.
LATAR BELAKANG KELUARGA
Kiai Abas adalah
putra sulung KH Abdul Djamil yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H
atau 1879 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan KH Abdul Djamil adalah putra
dari KH Muta'ad yang tak lain adalah menantu pendiri Pasantren Buntet, yakni
mbah Muqayyim salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon. Ia menjadi Mufti pada
masa pemerintahan Sultan Khairuddin I, Sultan Kanoman yang mempunyai anak Sultan
Khairuddin II yang lahir pada tahun 1777. Tetapi jabatan terhormat itu kemudian
ditinggalkan semata-mata karena dorongan dan rasa tanggungjawab terhadap agama
dan bangsa. Selain itu juga karena sikap dasar politik mbah Muqayyim yang non-cooperative terhadap penjajah
Belanda – karena penjajah secara politik saat itu sudah "menguasai"
kesultanan Cirebon.
Setelah meninggalkan
Kesultanan Cirebon, maka didirikanlah lembaga pendidikan pasantren tahun 1750
di Dusun Kedung malang, desa Buntet, Cirebon yang petilasannya dapat dilihat
sampai sekarang berupa pemakaman para santrinya. Untuk menghindari desakan
penjajah Belanda, ia selalu berpindah-pindah. Sebelum berada di Blok Buntet,
(desa Martapada Kulon) seperti sekarang ini, ia berada di sebuah daerah yang
disebut Gajah Ngambung. Disebut begitu, konon, karena mbah Muqayyim dikabarkan
mempunyai gajah putih.
Setelah itu juga
masih terus berpindah tempat ke Persawahan Lemah Agung (masih daerah Cirebon),
lantas ke daerah yang di sebut Tuk Karangsuwung. Bahkan, lantara begitu
gencarnya desakan penjajah Belanda (karena sikap politik yang non-cooperative), mbah Muqayyim sampai
"hijrah" ke daerah Beji, Pemalang, Jawa Tengah, sebelum kembali ke
daerah Buntet, Cirebon. Hal itu dilakukan karena hampir setiap hari tentara
penjajah Belanda setiap hari melakukan patroli ke daerah pasantren. Sehingga
suasana pasantren, mencekam, tapi para santri tetap giat belajar sambil terus
bergerilya, bila malam hari tiba.
Semuanya itu dijalani
dengan tabah dan penuh harapan, sebab mbah Qoyyim selalu mendampingi mereka.
Sementara bimbingan mbah Qoyyim selalu meraka harapkan sebab kiai itu di kenal
sebagai tokoh yang ahli tirakat (riyadlah)
untuk kewaspadaan dan keselamatan bersama. Ia pernah berpuasa tanpa putus
selama 12 tahun. mbah Muqayyim membagi niat puasanya yang dua belas tahun itu
dalam empat bagian. Tiga tahun pertama, ditunjukan untuk keselamatan Buntet Pasantren.
Tiga tahun kedua untuk keselamatan anak cucuknya. Tiga tahun yang ketiga untuk
para santri dan pengikutnya yang setia. Sedang tiga tahun yang keempat untuk
keselamatan dirinya. Saat itu mbah Muqayyimlah peletak awal Pasantren Buntet,
sudah berpikir besar untuk keselamatan umat Islam dan bangsa. Karena itu pasantren
rintisannya hingga saat ini masih mewarisi semangat tersebut. Sejak zaman
pergerakan kemerdekaan, dan ketika para ulama mendirikan Nahdlatul Ulama, pasantren ini menjadi salah satu basis kekuatan NU di Jawa Barat.
MASA PEMBENTUKAN
Dengan demikian pada
dasarnya Kiai Abbas adalah dari keluarga alim karena itu pertama ia belajar
pada ayahnya sendiri (KH Abdul Djamil). Setelah menguasai dasar-dasar ilmu
agama baru pindah ke pasantren Sukanasari, Plered, Cirebon di bawah pimpinan
Kiai Nasuha. Setelah itu, masih di daerah Jawa Barat, ia pindah lagi ke sebuah pasantren
salaf di daerah Jatisari dibawah pimpinan Kiai Hasan. Baru setelah itu keluar
daerah yakni ke sebuah pasantren di Jawa Tengah,tepatnya di Kabupaten Tegal
yang diasuh oleh Kiai Ubaidah.
Setelah berbagai ilmu
keagamaan dikuasai, maka selanjutnya ia pindah ke pasantren yang sangat kondang
di Jawa Timur, yakni Pasantren Tebuireng, Jombang di bawah asuhan Hadratusyekh Hasyim Asy'ari, tokoh kharismatik
yang kemudian menjadi pendiri NU. Pasantren Tebuireng itu menambah kematangan
kepribadian Kiai Abbas, sebab di pasantren itu ia bertemu dengan para santri
lain dan kiai yang terpandang seperti KH Abdul Wahab Chasbullah (tokoh dan
sekaligus arsitek berdirinya NU) dan KH Abdul Manaf turut mendirikan pasantren Lirboyo,
kediri Jawa Timur.
Walaupun keilmuannya
sudah cukup tinggi, namun ia seorang santri yang gigih, karena itu tetap
berniat memperdalam keilmuannya dengan belajar ke Makkah al-Mukarramah.
Beruntunglah ia belajar ke sana, sebab saat itu di sana masih ada ulama Jawa
terkenal tempat berguru, yaitu KH Machfudz Termas (asal Pacitan, Jawa Timur)
yang karya-karya (kitab kuning) -nya termasyhur itu. Di Makkah, ia kembali
bersama-sama dengan KH Bakir Yogyakarta, KH Abdillah Surabaya dan KH Wahab
Chasbullah Jombang. Sebagai santri yang sudah matang, maka di waktu senggang
Kiai Abbas ditugasi untuk mengajar pada para mukminin (orang-orang Indonesia
yang tertinggal di Makkah). Santrinya antara, KH Cholil Balerante, Palimanan, KH
Sulaiman Babakan, Ciwaringin dan santri-santri lainnya.
MEMIMPIN PASANTREN BUNTET
Dengan bermodal ilmu
pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pasantren di Jawa, kemudian di permatang
lagi dengan keilmuan yang dipelajari dari Makkah, serta upayanaya mengikuti
perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya, maka
mulailah Kiai Abbas memegang tampuk pimpinan Pasantren Buntet Waruisan dari
nenek moyangnya itu dengan penuh kesungguhan. Dengan modal keilmuan yang
memadai itu membuat daya tarik pasantren Buntet semakin tinggi.
Sebagai seorang kiai muda
yang energik ia mengajarkan berbagai khazanah kitab kuning, namun tidak lupa
memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Maka
kitab-karya ulama Mesir seperti tafsir Tontowi Jauhari yang banyak mengupas
masalah ilmu pengetahuan itu mulai diperkenalkan pada para santri. Demikian
juga tafsir Fahrurrozi yang bernuansa filosofis itu juga diajarkan. Dengan
adanya pengetahuan yang luas itu pengajaran ushul fikih mencapai kemajuan yang
sangat pesat, sehingga pemikiran fiqih para alumni Buntet sejak dulu sudah
sangat maju. Sebagaimana umumnya pasantren fiqih memang merupakan kajian yang
sangat diprioritaskan, sebab ilmu ini menyangkut kehidupan sehari-hari
masyarakat.
Dengan sikapnya itu
maka nama Kiai Abbas dikenal keseluruh Jawa, sebagai seorang ulama yang alim
dan berpemikiran progresif. Namun demikian ia tetap rendah hati pada
para santrinya, misalnya ketika ditanya sesuai yang tidak menguasai, atau ada
santri yang minta diajari kitab yang belum pernah dikajianya ulang, maka Kiai
Abbas terus terang mengatakan pada santrinya bahwa ia belum menguasasi kitab
tersebut, sehingga perlu waktu untuk menelaahnya kembali.
Walaupun namanya
sudah terkenal di-seantero pulau Jawa, baik karena kesaktiannya maupun karena
kealimannya, tetapi Kiai Abbas tetap hidup sederhana. Di langgar yang
beratapkan genteng itu, ada dua kamar dan ruang terbuka cukup lebar dengan
hamparan tikar yang terbuat dari pandan. Di ruang terbuka inilah Kiai Abbas
menerima tamu tak henti-hentinya. Setiap usai shalat Dhuhur atau Ashar, sebuah
langgar yang berada di pasantren Buntet, Cirebon itu selalu didesaki para tamu.
Mereka berdatangan hampir dari seluruh pelosok daerah. Ada yang datang dari
daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah bahkan juga ada yang dari Jawa Timur.
Mereka bukan santri yang hendak menimba ilmu agama, melainkan inilah masyarakat
yang hendak belajar ilmu kesaktian pada sang guru.
MELAWAN PENJAJAH BELANDA
Walaupun saat itu,
Kiai Abbas sudah berumur sekitar 60 tahun, tetapi tubuhnya tetap gagah dan
perkasa. Rambutnya yang lurus dan sebagian sudah memutih, selalu di tutupi peci
putih yang dilengkapi sorban – seperti lazimnya para kiai. Dalam tradisi pasantren,
selain dikenal dengan tradisi ilmu kitab kuning, juga di kenal dengan tradisi
ilmu kanuragan atau ilmu bela diri, yang keduanya wajib dipelajari. Apalagi
dalam menjalankan misi dakwah dan berjuang melawan penjahat dan penjajah.
Kehadiran ilmu kanuragan menjadi sebuah keharusan.
Oleh karena itu
ketika usianya mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat itu sedang
menuju puncaknya, maka pengajaran ilmu kanuragan di rasa lebih mendesak untuk
mencapai kemerdekaan.
Maka dengan berat
hati terpaksa ia tinggalkan kegiatannya mengajar kitab-kitab kuning pada ribuan
santrinya. Sebab yang menangani soal itu sudah diserahkan sepenuhnya pada kedua
adik kandungnya, KH Anas dan KH Akyas. Sementara Kiai Abbas sendiri, setelah
memasuki masa senjanya, lebih banyak memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah
di masyarakat dan mengajar ilmu-ilmu kesaktian atau ilmu beladiri, sebagai
bekal masyarakat untuk melawan penjajah.Tampaknya ia mewarisi darah perjuangan
dari kakeknya yaitu mbah Qoyyim, yang rela meninggalkan istana Cirebon karena
menolak kehadiran Belanda. Dan kini darah perjuangan tersebut sudah merasuk ke
cucu-cucunya. Karena itu Kiai Abbas mulai merintas perlawanan, dengan mengajarkan
berbagai ilmu kesaktian pada masyarakat.
Tentu saja yang
berguru pada Kiai Abbas bukan orang sembarangan, atau pesilat pemula, melainkan
para pendekar yang ingin meningkatkan ilmunya. Maka begitu kedatangan tamu ia
sudah bisa mengukur seberapa tinggi kesaktian mereka, karena itu Kiai Abbas
menerima tamu tertentu langsung di bawa masuk ke kamar pribadinya. Dalam kamar
mereka langsung di coba kemampuannya dengan melakukan duel, sehingga membuat
suasana gaduh. Baru setelah di uji kemampuannya sang kiai meng-ijazahi berbagai
amalan yang diperlukan, sehingga kesaktian dan kekebalan mereka bertambah.
Dengan gerakan itu
maka pasantren Buntet dijadikan sebagai markas pergerakan kaum Republik untuk
melawan penjajahan. Mulai saat itu Pasantren Buntet saat itu menjadi basis
perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hizbullah. Sebagaimana Sabilillah,
Hizbullah juga merupakan kekuatan yang tanggung dan disegani musuh, kekuata itu
diperoleh berkat latihan-latihan berat yang diperoleh dalam pendidikan PETA (Pembela Tanah
Air) di Cibarusa semasa penjaajahan Jepang. Organisasi perjuangan umat Islam
ini didirikan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Anggotanya terdiri
atas kaum tua militan. Organisasi ini di Pasantren Buntet, diketuai Abbas dan
adiknya KH Anas, serta dibantu oleh ulama lain seperti KH Murtadlo, KH Soleh
dan KH Mujahid.
Karena itu muncul
tokoh Hizbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon seperti KH
Hasyim Anwar dan KH Abdullah Abbas putera Kiai Abbas. Ketika melakukan perang
gerilya, tentara Hizbullah memusatkan pertahahannya di daerah Legok, kecamatan
Cidahu, kabupaten Kuningan, dengan front di perbukitan Cimaneungteung yang
terletak didaeah Waled Selatan membentang ke Bukit Cihirup Kecapantan Cipancur,
Kuningan. Daerah tesebut terus dipertahankan sampai terjadinya Perundingan Renville
yang kemudian Pemerintah RI beserta semua tentaranya hijrah ke Yogyakarta.
Selain mendirikan
Hisbullah, pada saat itu di Buntet Pasantren juga dikenal adanya organisasi
yang bernama Asybal. Inilah organisasi anak-anak yang berusia di bawah 17
tahun. Organisasi ini sengaja di bentuk oleh para sesepuh Buntet Pasantren sebagai
pasukan pengintai atau mata-mata guna mengetahui gerakan musuh sekaligus juga
sebagai penghubung dari daerah pertahanan sampai ke daerah front terdepan.
Semasa perang kemerdekaan itu, banyak warga Buntet Pasantren yang gugur dalam
pertempuran. Diantaranya adalah KH Mujahid, Kiai Akib, Mawardi, Abdul Djalil,
Nawawi dan lain-lain.
Basis kekuatan laskar
yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi
tercetusnya revolusi November di Surabaya tahun 1946. Peristiwa itu terbukti
setelah Kiai Hasyim Asy'ari mengeluarkan resolusi jihad pada 22 Oktober 1946,
Bung Tomo segera datang berkonsultasi pada KH Hasyim Asy'ari guna minta restu
dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris. Tetapi kiai Hasyim menyarankan
agar perlawanan rakyat itu jangan dimulai terlebih dahulu – sebelum KH Abbas,
sebagai Laskar andalannya datang ke Surabaya. Memang setelah itu laskar dari pasantren
Buntet, di bawah pimpinan KH Abbas beserta adiknya KH Anas, mempunyai peran
besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan
peristiwa 10 Nopember 1945 itu. Atas restu Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari,
ia terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya tersebut. Selanjutnya kiai
Abbas juga mengirimkan para pemuda yang tergabung dalam tentara Hizbullah ke
berbagai daerah pertahanan untuk melawan penjajah yang hendak menguasai kembali
republik ini, seperti ke Jakarta, Bekasi, Cianjur dan lain-lain.
Dialah santri yang
mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu bela diri maupun ilmu kedigjayaan.
Dan tidak jarang, KH Abbas diminta bantuan khusus yang berkaitan dengan
keahliannya itu. Hubungan Kiai Hasyim dengan Kiai Abbas memang sudah lama
terjalin, terlihat ketika pertama kali Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan
pesantrean Tebuireng, kiai sakti dari Cirebon itu banyak memberikan
perlindungan, terutama saat di ganggu oleh para penjahat setempat, yang merasa
terusik oleh kehadiran pasantren Tebuireng. Sekitar tahun 1900, KH Abbas datang
dari Buntet bersama kakak kandungnya, KH Soleh Zamzam,
Benda Kerep, KH Abdullah Pengurangan dan Kiai Syamsuri Wanatar. Berkat
kehadiran mereka itu para penjahat yang dibeking oleh Belanda, penguasa pabrik
gula Cukir itu tidak lagi mengganggu pasantren tebuireng, kapok tidak berani
mengganggu lagi. Tradisi pasantren antara kanuragan, moralitas dan kitab kuning
saling menopang, tanpa salah satunya yantg lain tidak berjalan, karena itu
semua merupakan tradisi dalam totalitasnya.
BERJUANG HINGGA AKHIR HAYAT
Walaupun revolusi Nopember
dimenangkan oleh laskar pasantren dengan penuh gemilang, tetapi hal itu tidak
membuat mereka terlena, sebab Belanda dengan kelicikannya akan selalu mencari
celah menikam republik ini. Karena itu Kiai Abbas selalu mengikuti perkembangan
politik, baik di lapanagan maupun di meja perundingan. Sementara laskar masih
terus disiagakan. Berbagai latihan terus di gelar, terutama bagi kalangan muda
yang baru masuk kelaskaran. Berbagai daerah juga di buka simpul ke-laskaran
yang siap menghadapi kembalinya penjajahan.
Di tengah gigihnya
perlawanan rakyat terhadap penjajah, misi diplomasi juga dijalankan, semuanya
itu tidak terlepas dari perhatian para ulama. Karena itu bepata kecewanya para
pejuang, termasuk para ulama yang memimpin perang itu, ketika sikap para
diplomat kita sangat lemah, banyak mengalah pada keinginan Belanda dalam Perjanjian Linggarjati
tahun 1946 itu. Mendengar hail perjanjian itu Kiai Abbas sangat terpukul,
merasa perjuangannya dikhianati, akhirnya jatuh sakit, yang kemudian mengakibatkan
Kiai yang sangat disegani sebagai pemimpin gerilya itu wafat pada hari Ahad
pada waktu subuh, 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946 Masehi, kemudian dikuburkan di
pemakaman Buntet Pasantren.
Hingga saat ini
karakter perjuangan masih terus ditradisikan di Pasantren Buntet, pada masa
represif Orde Baru pasantren ini dengan gigihnya mempertahankan independensinya
dari tekanan rezim itu. Tetapi semuanya dijalankan dengan penuh keluwesan,
sehingga orde baru juga tidak menghadapinya dengan frontal. Akibatnya pada masa
ramainya gerakan reformasi pikiran dan pandangan Kiai Abdullah Abbas sangat
diperhatikan oleh semua para penggerak reformasi, baik dari kalangan NU maupun komunitas
lainnya. Itulah peran sosial keagamaan Pasantren Buntet yang dirintis mbah Qoyyim
dilanjutkan oleh Kiai Abbas, kemudian diteruskan lagi oleh Kiai Abdullah Abbas
menjadikan Buntet sebagai Pasantren perjuangan.
Sekian & Semoga
Bermanfaat…
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar