Kiai Hasyim lahir pada Selasa Kliwon, 24 Dzulqaidah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 10 April 1875 M, di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, sekitar 2 km. ke arah utara Kabupaten Jombang. Putra ketiga dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy'ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy'ari adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh Pasantren Gedang.
Dari jalur ayah, nasab Kiai Hasyim bersambung
kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja'far Shadiq bin Muhammad al-Baqir. Sedangkan
dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng),
yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka tingkir adalah raja Pajang
pertama (tahun 1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya.
Bakat kepemimpinan Kiai
Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman
sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya
melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang
bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Pada tahun 1293 H/1876
M, tepatnya ketika berusia 6 tahun, Hasyim kecil bersama kedua orang tuanya pindah
ke Desa Keras, sekitar 8 km. ke selatan Kota Jombang. Kepindahan mereka adalah
untuk membina masyarakat disana.
Di Desa Keras, Kiai Asy'ari diberi tanah oleh sang Kepala Desa, yang kemudian
digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan Pasantren. Di sinilah Hasyim kecil
dididik dasar-dasar ilmu agama oleh orang tuanya. Hasyim juga dapat melihat
secara langsung bagaimana ayahnya membina dan mendidik para santri. Hasyim
hidup menyatu bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh
kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar
pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari. Hal ini
ditunjang oleh kecerdasannya yang memang brilian. Dalam usia 13 tahun, Hasyim
sudah bisa membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar daripada
dirinya.
Di samping cerdas,
Hasyim juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang
kakek, mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa
bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, Hasyim selalu memanfaatkan waktu
luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya
kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.
MENCARI
ILMU
Pada usia 15 tahun,
remaja Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu
pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pasantren Wonorejo Jombang, lalu Pasantren
Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pasantren Langitan Tuban, dan Pasantren
Trenggilis Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim
melanjutkan rihlah ilmiyahnya ke Pasantren
Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai Kholil bin Abdul Latif yang terkenal waliyullah itu.
Setelah lima tahun
menuntut ilmu di Bangkalan, pada tahun 1307 H/1891 M., Kiai Hasyim kembali ke
tanah Jawa dan belajar di Pasantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah
bimbingan Kiai Ya'qub. Pemuda Hasyim belajar selama 5 tahun disana. Lalu pada
usia 21 tahun, dia dinikahkan dengan Nafisah, salah seorang puteri Kiai Ya'qub. Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308
H.
Tidak lama kemudian,
Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Makkah guna menunaikan
ibadah haji. Kesempatan di tanah suci juga digunakan untuk memperdalam ilmu
pengetahuan. Hampir seluruh di-siplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu
hadis. Tujuh bulan telah berlalu, Nyai Nafisah pun melahirkan seorang putera
yang di beri nama Abdullah. Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya sangat
bahagia dengan kelahiran bayi mungil tersebut.
Perjalanan hidup
terkadang sulit di duga; gembira dan sedih datang silih berganti. Demikian juga
yang dialami Kiai Hasyim. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati, sang
istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia di tanah suci Makkah.
Empat puluh hari
kemudian, putra beliau, Abdullah, menyusul sang ibu. Kesedihan Kiai Hasyim
nyaris tak tertahankan. Namun beliau selalu ingat kepada Allah dengan
melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah
lainnya.
Beberapa bulan
kemudian, Kiai Hasyim kembali ke Indonesia untuk mengantar mertuanya pulang.
BELAJAR
LAGI DI TANAH SUCI
Kerinduan akan tanah
suci mengetuk hati Kiai Hasyim untuk kembali lagi ke Kota Makkah. Pada tahun
1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke Makkah bersama adik kandungnya,
Anis. Namun Allah kembali menguji kesabaran Kiai Hasyim, karena tak lama
setelah tiba di Makkah, Anis dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Peristiwa ini tidak
membuat Kiai Hasyim hanyut dalam kesedihan. Kiai Hasyim justru semakin
mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar dan mendekatkan diri kepada Allah.
Di tengah-tengah kesibukan menuntut ilmu, beliau menyempatkan diri berziarah ke
tempat-tempat mustajab, seperti Padang Arafah, Gua Hira', Maqam Ibrahim,
termasuk ke makam Rosulullah SAW. Setiap Sabtu pagi beliau berangkat menuju Goa
Hira' di Jabal Nur, kurang lebih 10 km. di luar Kota Makkah, untuk mempelajari
dan menghafalkan hadis-hadis
Nabi.
Setiap berangkat menuju
Goa Hira', Kiai Hasyim selalu membawa al-Quran
dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya. Beliau juga membawa perbekalan untuk
dimakan selama enam hari di sana. Jika hari Jum'at tiba, beliau bergegas turun
menuju Kota Makkah guna menunaikan salat Jum'at di sana.
Kiai Hasyim juga rajin
menemui ulama-ulama besar untuk belajar ilmu dan mengambil berkah dari mereka.
Guru-guru Kiai Hasyim selama di Makkah, antara lain;
- Syekh SYUAIB ibn
ABDURRAHMAN,
- Syekh MAHFUDZH
at-TURMUSI,
- Syekh KHATIB al-MINAGKABAWI,
- Syekh AHMAD AMIN al-ATHAR,
- Syekh IBRAHIM ARAB,
- Syekh SAID al-YAMANI,
- Syekh RAHMATULLAH,
- Syekh BAFADDHAL.
Sejumlah sayyid juga
menjadi gurunya, antara lain;
- Sayyid ABBAS
al-MALIKI,
- Sayyid SULTHAN HASYIM
al-DAGHISTANI,
- Sayyid ABDULLAH al-ZAWAWI,
- Sayyid AHMAD bin HASAN
al-ATTHAS,
- Sayyid ALWI al-SEGAF,
- Sayyid ABU BAKAR
SYATHA al-DIMYATHI,
- Sayyid HUSAIN al-HABSYI
yang saat itu menjadi mufti di Makkah.
Di antara mereka, ada
tiga orang yang sangat mempengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid ALWI bin AHMAD al-SEGAF, Sayyid HUSAIN al-HABSYI, dan Syekh MAHFUDZH al-TURMUSI.
Setelah ilmunya di nilai
mumpuni, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh
ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh
NAWAWI al-BANTANI, Syekh AHMAD
KHATIB al-MINAKABAWI, dll. Di sana beliau mempunyai banyak murid dari
berbagai negara. Di antaranya ialah;
-
Syekh SA'DULLAH al-MAIMANI (mufti di Bombay,
India),
-
Syekh UMAR HAMDAN (ahli hadis di Makkah),
-
Al-SYIHAB AHMAD ibn ABDULLAH (Syiria),
-
KH ABDUL WAHHAB HASBULLAH (Tambakberas,
Jombang),
-
KHR ASNAWI (Kudus),
-
KH DAHLAN (Kudus),
-
KH BISRI SYANSURI (Denanyar, Jombang),
-
KH SHALEH (Tayu).
Pada tahun ketujuh di
Makkah, tepatnya tahun 1899 (1315H), datang rombongan jama'ah haji dari Indonesia.
Di antara rombongan terdapat Kiai Romli dari desa Karangkates Kediri, beserta
putrinya yang bernama Khadijah. Kiai Romli yang bersimpati kepada Kiai Hasyim
mengambilnya sebagai menantu untuk dijodohkan dengan Khadijah.
Setelah pernikahan itu,
Kiai Hasyim bersama istrinya pulang kembali ke tanah air. Pada awalnya, beliau
tinggal di Kediri selama beberapa bulan. Menurut sumber lainnya, Kiai Hasyim
langsung menuju Pasantren Gedang yang di asuh oleh Kiai Usman, dan tinggal di sana
membantu sang kakek. Setelah itu beliau membantu ayahnya, Kiai Asy'ari mengajar di Pondok Keras.
MENDIRIKAN
PASANTREN TEBUIRENG
Tahun 1899, Kiai Hasyim
membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya
kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri
sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang
lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu
(Jawa: tratak) sebagai tempat
tinggal.
Dari tratak kecil
inilah embrio Pasantren Tebuireng di mulai. Kiai Hasyim mengajar dan salat
berjama'ah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan
tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian
meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun
membangun Tebuireng, Kiai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya,
Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang
menggembirakan. Kiai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri
Kiai Ilyas, pengasuh Pasantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kiai Hasyim
dikaruniai 10 anak, yaitu;
(1) Hannah,
(2) Khoiriyah,
(3) Aisyah,
(4) Azzah,
(5) Abdul
Wahid,
(6) Abdul
Hakim (Abdul Kholik),
(7) Abdul
Karim,
(8) Ubaidillah,
(9) Mashuroh,
(10) Muhammad
Yusuf.
Pada akhir dekade 1920-an,
Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kiai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh,
putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pasantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari
pernikahan ini, Kiai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu;
(1) Abdul
Qodir,
(2) Fatimah,
(3) Khodijah,
(4) Muhammad
Ya’kub.
PENDIDIK
SEJATI
Selain mumpuni dalam
bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum Pasantren,
mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan aktual
kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masyarakat sedang
dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai
Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi
alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab
Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama 'Syirkatul
Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar'.
Kiai Hasyim juga tipe
pendidik yang sulit di cari tandingannya. Sejak pagi hingga malam, Kiai Hasyim
menghabiskan waktunya untuk mengajar. Pada pagi hari, kegiatan beliau di mulai
dengan menjadi imam sholat shubuh di Masjid Tebuireng, yang berada tepat di
depan rumahnya, dilanjutkan dengan bacaan wirid yang cukup panjang. Selesai
wirid, beliau mengajar kitab kepada para santri hingga menjelang matahari
terbit. Diantara kitab yang diajarkan setelah subuh adalah 'al-Tahrir' dan 'al-Syifa fi Huquq al-Musthafa' karya
al-Qadhi 'Iyadh.
Setelah selesai
mengaji, Hadratusy Syekh yang terbiasa berpuasa itu mememui para pekerja yang
sudah berkumpul di samping rumah. Beliau membagi tugas kepada mereka; ada yang
ditugaskan merawat sawah, membenahi fasilitas pondok, membenahi sumur, dan lain
sebagainya. Setelah itu, beliau mendengarkan laporan-laporan mengenai hal-hal
yang pernah beliau perintahkan.
Sekitar pukul 07.00,
Kiai Hasyim mengambil air wudlu' untuk salat dhuha. Beliau biasanya mengambil
air wudhu di jeding samping ndalem dengan hanya mengenakan sarung dan kaos
putih. Setelah salat dhuha, dilanjutkan dengan mengajar santri senior.
Tempatnya di ruang depan ndalem. Kitab yang pernah diajarkan antara lain al-Muhaddzab
karya al-Syairazi dan al-Muattha’ karya Imam Malik ra.
Pengajian ini berakhir pada pukul 10.00.
Mulai jam 10.00 pagi
sampai jam 12 adalah waktu istirahat, yang digunakan untuk agenda-agenda
seperti menemui tamu, membaca kitab, menulis kitab, dan lain-lain. Sebelum azan
zuhur, kadang kala beliau menyempatkan diri untuk tidur sebentar (qailulah),
sebagai bekal untuk qiyamul lail dan
membaca al-Quran.
Ketika azan zuhur berkumandang, beliau bangun dan mengimami salat zuhur
berjama’ah di masjid. Selepas shalat zuhur, beliau mengajar lagi sampai
menjelang waktu ashar.
Kira-kira setengah jam
sebelum ashar, Kiai Hasyim memeriksa pekerjaan para pekerja yang ditugasinya
tadi pagi. Setelah menerima laporan, beliau kembali ke ndalem kemudian mandi.
Setelah terdengar azan
ashar, beliau kembali ke masjid dan mengimami salat ashar, dilanjutkan dengan
mengajar para santri di masjid sampai menjelang masghrib. Kitab yang diajarkan
adalah 'Fath al-Qarib'. Pengajian ini wajib diikuti semua santri tanpa
terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara kontinyu di baca setiap
selesai shalat ashar.
Setelah shalat maghrib,
Kiai Hasyim menyediakan waktu untuk menemui para tamu yang datang dari berbagai
daerah, seperti Banyuwangi, Pasuruan, Malang, Surabaya, Madiun, Kediri, Solo,
Jakarta, Jogyakarta, Kalimantan, Bima, Sumatra, Telukbelitung, Madura, Bali,
dan masih banyak lagi. Dikisahkan oleh Nyai Marfu'ah, pembantu Kiai Hasyim,
bahwa setiap hari-nya Kiai Hasyim menyediakan banyak makanan dan lauk-pauk
untuk menjamu para tamu. Dalam satu hari, jumlah tamunya bisa mencapai 50
orang.
Setelah salat isya,
beliau mengajar lagi di masjid sampai pukul sebelas malam. Materi yang biasa
diajarkan adalah ilmu tashawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf beliau membacakan
kitab 'Ihya’ Ulum al-Din' karya Imamal-Ghazali, dan untuk tafsir adalah Tafsir al-Quran 'al-Adzim' karya Ibnu
Kastir.
Setelah itu Kiai Hasyim
muraja'ah al-Quran dengan disimak oleh beberapa santri. Beliau mengahiri
kegiatannya dengan beristirahat, mulai jam satu malam dan bangun satu kemudian
untuk qiyamul lail dan membaca al-Quran.
Menjelang waktu imsak (sekitar 10 menit sebelum Shubuh), Kiai Hasyim sudah
berkeliling pondok untuk membangunkan para santri agar segera mandi atau
berwudlu guna malaksanakan shalat tahajjud dan shalat shubuh. Ketika usianya
sudah beranjak sepuh dan harus memakai tongkat untuk menyangga tubuhnya, Kiai
Hasyim tetap menjalankan aktivitasnya membangunkan para santri menjelang subuh.
Kiai Hasyim juga
dikenal sangat mencintai para santri. Keadaan ekonomi bangsa yang masih sangat
lemah, secara otomatis mempengaruhi kemampuan ekonomi santri. Adayang mondok
hanya dengan bekal sekarung beras, bahkan ada yang tanpa bekal sedikitpun.
Karena itu, Kiai Hasyim memberikan jatah makan harian kepada para santri yang
tidak mampu. Lalu setiap hari Selasa, Kiai Hasyim mengajak mereka untuk
berwiraswasta atau pergi ke sawah untuk bertani.
Kecintaan Kiai Hasyim
pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang selalu disampaikan kepada setiap
santri yang telah selesai belajar di Tebuireng: "Pulanglah ke kampungmu. Mengajarlah disana, minimal mengajar
ngaji."
SISTEM
PENDIDIKAN DI MASA KIAI HASYIM
Sejak awal berdirinya
hingga tahun 1916, Pasantren Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Semua bentuk pengajaran tidak dibedakan dalam jenjang
kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai
dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi Pengetahuan Agama Islam
dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pego (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu,
sistem dan metode pengajaran pun ditambah, diantaranya dengan menambah kelas
musyawaroh sebagai kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawaroh
jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat.
Dalam 20 tahun pertama
pertumbuhan Tebuireng, Kiai Hasyim banyak dibantu oleh saudara iparnya, KH
Alwi, yang pernah mengenyam pendidikan 7 tahun di Makkah. Tahun 1916, KH Ma'shum
Ali, menantu pertamanya, mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Sistem
madrasah merupakan sistem pengajaran yang diadopsi oleh Hadratusy Syekh dari Makkah.
Tahun 1916, Madrasah
Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan di bagi menjadi dua tingkatan. Tahun
pertama dan kedua dinamakan sifir awal
dan sifir tsani, yaitu masa persiapan
untuk dapat memasuki madrasah lima tahun berikutnya. Para peserta sifir awal
dan sifir tsani di-didik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai
landasan penting bagi pendidikan madrasah
lima tahun.
Mulai tahun 1919,
Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah
Salafiyah Syafi'iyah. Kurikulumnya di-tambah dengan materi Bahasa Indonesia
(Melayu), matematika, dan geografi. Lalu setelah kedatangan Kiai Ilyas tahun
1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. Tahun
1928 kedudukan Kiai Maksum sebagai kepala madrasah digantikan Kiai Ilyas,
sedang Kiai Maksum sendiri di tunjuk oleh Kiai Hasyim untuk mendirikan Pasantren
Seblak (sekitar 200 meter arah barat Tebuireng).
PENGAJIAN
RUTIN SHAHIH BUKHARI-MUSLIM
Meskipun sistem
pengajaran di Tebuireng sudah berkembang pesat, namun tradisi pengajian yang diasuh Kiai Hasyim tetap bertahan. Apalagi beliau terkenal
sangat disiplin dan istiqamah mengaji. Para santri tidak pernah bosan mengikuti
pengajian beliau.
Kegiatan mengajar Kiai
Hasyim diliburkan 2 kali dalam seminggu, yaitu pada Hari Selasa dan Hari
Jum’at. Kiai Hasyim biasanya memanfaatkan 2 hari libur itu untuk mencari
nafkah. Beliau memantau perkembangan sawah dan ladangnya yang berada kurang
lebih 10 km sebelah selatan Tebuireng. Beliau juga memberi kesempatan kepada
para santri untuk mengadakan kegiatan kemasyarakatan seperti jam'iyah.
Sedangkan pada Hari Selasa, selain pergi ke sawah Kiai Hasyim juga sering
bersilaturrahim ke sanak famili serta para santrinya yang mulai merintis pondok
Pasantren.
Hari libur ini
dimanfaatkan oleh putranya, Abdul Wahid, untuk memberikan pelajaran bahasa
asing, Inggris dan Belanda, kepada para santri. Meskipun pada awalnya Kiai
Hasyim kurang setuju, namun Abdul Wahid mampu meyakinkan bahwa materi bahasa
asing sangat penting bagi santri, sehingga Kiai Hasyim akhirnya membolehkan.
Selain mencari nafkah,
pada hari Jum'at Kiai Hasyim juga memiliki kegiatan memperbanyak membaca al-Quran.
Kemudian setelah salat jum'at, beliau memberikan pengajian umum kepada santri
dan masyarakat. Dalam pengajian umum ini, Hadratusy Syekh memberikan materi 'Tafsir al-Jalalain', sebuah kitab
tafsir karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi ra.
Kebiasaan lain yang tak
pernah beliau tinggalkan ialah membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau
juga sering membaca kitab Dalail al-Khairat
yang didalamnya banyak terdapat shalawat. Ketika ada santri yang menganggur,
beliau mengingatkannya untuk membaca shalawat agar waktu yang mereka miliki
tidak sia-sia.
Pada bulan Ramadhan,
Hadratusy Syekh membacakan kitab Shahih Bukhari
(4 jilid) dan Shahih Muslim (4 jilid) secara rutin. Pengajian ini di mulai pada tanggal 15 Sya'ban
dan selesai pada tanggal 27 Romadhon (kurang lebih 40 hari). Salah seorang
gurunya bahkan pernah ikut ngaji kepada beliau. Menurut satu sumber, guru Kiai
Hasyim yang pernah ngaji ke Tebuireng adalah Kiai Kholil Bangkalan, dan menurut
sumber lainnya adalah Kiai Khozin Panji, Sidoarjo.
DEKAT
KEPADA ALLAH
Dikisahkan, ketika
Hadratusy Syekh merasa amat letih karena siang harinya menghadiri kongres
Nahdatul Ulama’ di Malang, beliau tidak bisa memberikan pelajaran di malam hari
kepada para santri. Sehabis salat Isya beliau beristirahat tidur sangat pulas.
Kiai Hasyim baru bangun pada pukul setengah tiga malam. Beliau langsung mengambil
air wudhu, berpakaian rapi dan menjalankan salat tahajjud. Meskipun pada siang
harinya belum makan, beliau tidak juga makan di malam hari, padahal persediaan
makanan masih ada. Selesai shalat tahajjud diiringi dengan wirid dan doa yang
panjang, beliau mengambil al-Quran lalu dibacanya dengan perlahan-lahan sambil
menghayati maknanya. Ketika sampai pada surat ad-Dzariyat ayat 17-18 yang artinya:
"Mereka
(para shahabat Nabi) sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di waktu sahur
(akhir malam) mereka memohon ampun" [ad-Dariyat : 17-18].
Seketika itu beliau
menghentikan bacaannya. Lalu terdengar suara tangis terisak-isak. Sejurus
kemudian air mata telah membasahi jenggotnya yang sudah memutih. Kiai Hasyim
merasa bahwa pada malam itu beliau terlalu banyak tidur. Sambil menengadahkan
tangan, beliau berdo’a,
"Ya
Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah ini, dan berilah hamba kekuatan serta
ketabahan untuk melaksanakan segala perintah-perintah-Mu."
Kemudian beliau bangkit
dari tempat duduknya menuju tempat salat, lalu bersujud kepada Allah memohon
ampun. Lisannya terus membaca tasbih.
Peristiwa seperti ini
terjadi berulangkali. Setiap kali membaca ayat-ayat tentang siksa, ancaman, dan
murka Allah, atau ayat-ayat yang menerangkan perintah-perintah Allah yang
terlupakan oleh kaum muslimin, beliau selalu meneteskan air mata.
* * *
Suatu malam, Kiai
Hasyim berniat tidur sejenak guna mengistirahatkan badan. Ketika sampai di
tempat tidur, terdengar suara seorang santri dari masjid sedang membaca al-Quran
surat al-Muzammil : 1-9 yang artinya;
"Wahai
orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari
kecuali sedikit (dari padanya). Atau lebih dari seperdua (malam), dan bacalah
al-Quran dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu
perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat
(untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu di
siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu dan
beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan masyriq dan
maghrib, tiada tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Dia sebagai
pelindung."
[al-Muzammil : 1-9]
Mendengar ayat itu,
Kiai Hasyim yakin bahwa ini adalah teguran dari Allah SWT melalui santrinya.
Allah menegurnya agar tetap beribadah, jangan bermalas-malasan menuruti hawa
nafsu. Akhirnya keinginan untuk tidur dibatalkan.
* * *
Diceritakan pula, pada
tahun 1943, Kiai Hasyim diserang demam yang sangat hebat. Ketika telah masuk
waktu zuhur, beliau memaksakan diri bangkit dari tempat tidur menuju kolam
untuk mengambil air wudhu’. Beliau berjalan sambil di papah oleh kedua
putranya. Setelah mengambil air wudhu, beliau memakai baju rapi disertai sorban
untuk menuju masjid. Melihat hal ini, salah seorang putranya, Abdul Karim,
berkata, "Ayah, demam ayah sangat
parah. Sebaiknya ayah salat di rumah saja!"
Beliau menjawab, "Ketahuilah anakku, api neraka itu
lebih panas dari pada demamku ini!" Kemudian beliau bangkit dari
duduknya dan berjalan menuju masjid dengan dipapah.
Sepulang dari masjid,
penyakitnya semakin parah. Sanak famili dan putra-putrinya berdatangan.
Badannya terbujur lemah di atas tempat tidur. Kedua matanya terpejam tak
sadarkan diri. Tapi tak lama kemudian, matanya terbuka seraya meneteskan air mata.
Adik perempuannya
bertanya, "Di manakah yang terasa
sakit, kakak?" Dengan nada sedih, Kiai Hasyim menjawab, "Aku menangis bukan karena penyakitku,
bukan pula karena takut mati atau berat berpisah dengan famili. Aku merasa
belum mempunyai amal shaleh sedikitpun. Masih banyak perintah-perintah Allah
yang belum aku kerjakan. Alangkah malunya aku menghadap Allah dengan tangan
hampa, tiada mempunyai amal kebaikan sedikitpun. Itulah sebabnya aku
menangis."
KARYA-KARYA
KIAI HASYIM
Di samping aktif
mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif.
Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai
menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk
membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.
Karya-karya Kiai Hasyim
banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya,
ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah,
Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid,
ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, al-Risalah fi al-Tasawwuf,
dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering
menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama', Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama'.
Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang,
seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum
rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga
mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz,
doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan
keadilan, dll.
KARYA-KARYA
KH MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI yang dapat di telusuri hingga saat ialah;
01. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan.
Berisi
tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi
sosial. Tebal 17 halaman, selesai di tulis hari Senin, 20 Syawal 1360 H.,
penerbit Maktabah al-Turats al-Islami Ma'had Tebuireng.
02. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama.
Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’.
Tebal
10 halaman. Berisikan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan Nahdhatul Ulama’
dan dasar-dasar pembentukannya disertai beberapa hadis dan fatwa-fatwa Kiai
Hasyim tentang berbagai persoalan. Pernah dicetak oleh percetakan Menara Kudus
tahun 1971 M. dengan judul, "Ihya’ Amal al-Fudhala' fi al-Qanun al-Asasy
li Jam’iyah Nahdhatul Ulama'".
03. Risalah fi Ta'kid al-Akhdz
bi Madzhab al-A’immah al-Arba'ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas
madzhab empat.
Tebal
4 halaman, berisi tentang perlunya berpegang kepada salah satu di antara empat
madzhab (Hanafi,
Maliki, Syafi'i, dan Hanbali).
Di dalamnya juga terdapat uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbat
al-ahkam), metode ijtihad, serta respon atas pendapat ibn Hazm tentang taqlid.
04. Mawaidz. Beberapa Nasihat.
Berisi
fatwa dan peringatan tentang merajalelanya kekufuran, mengajak merujuk kembali
kepada al-Quran dan hadis, dan lain sebagainya. Testament keagamaan ini pernah
disiarkan dalam kongres Nahdhatul Ulama' ke XI tahun 1935 di Kota Bandung, dan
pernah diterjemahkan oleh Prof. Buya Hamka dalam majalah Panji Masyarakat no.5
tanggal 15 Agustus 1959, tahun pertama halaman 5-6.
05. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam'iyah Nahdhatul Ulama’.
40
hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
06. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas
menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul.
Berisi
dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, dan
mencintai Nabi Muhammad SAW. Tebal 87 halaman, memuat biografi singkat Nabi SAW
mulai lahir hingga wafat, dan menjelaskan mu’jizat shalawat, ziarah, wasilah,
serta syafaat. Selesai ditulis pada 25 Sya’ban 1346 H., terdiri dari 29 bab.
07. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna' al-Maulid bi al-Munkarat.
Peringatan-peringatan
wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran.
Ditulis berdasarkan kejadian yang pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal
1355 H., saat para santri di salah satu Pasantren sedang merayakan Maulid Nabi
yang diiringi dengan perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan
perempuan, permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman
pertama terdapat pengantar dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai
ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman,
dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415
H.
08. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat
as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah.
Risalah
Ahlu Sunnah Wal Jama'ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian,
tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid'ah. Berisi 9 pasal.
09. Ziyadat Ta’liqat a'la Mandzumah as-Syekh 'Abdullah bin Yasin al-Fasuruani.
Catatan
seputar nadzam Syekh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai
Hasyim dan Syekh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga terdapat banyak pasal
berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah
Nahdhatoel Oelama’. Tebal 144 halaman.
10. Dhau'ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah.
Cahayanya
lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah
secara syar'i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan. Kitab
ini biasanya dicetak bersama kitab Miftah al-Falah karya almarhum Kiai
Ishamuddin Hadziq, sehingga tebalnya menjadi 75 halaman.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis'a 'Asyarah.
Mutiara
yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan
thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini
diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim,
dierbitkan oleh percetakan Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor
setebal xxxiii halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai
halaman 29.
12. Al-Risalah fi al-'Aqaid.
Berbahasa
Jawa, berisi kajian tauhid, pernah di cetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-KubraSurabaya,
bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356
H./1937M. Dicetak bersama kitab Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi
at-Tashawwuf serta dua kitab lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah
ini di tash-hih oleh Syekh Fahmi Ja'far al-Jawi dan Syekh Ahmad Said 'Ali
(al-Azhar). Selelai ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember
1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf.
Menerangkan
tentang tashawuf; penjelasan tentang ma'rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat.
Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.
14. Adab al-'Alim wa
al-Muta'allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta'limih wama
Yatawaqqaf 'alaih al-Muallim fi Maqat Ta'limih.
Tatakrama
pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik,
merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256
H/871 M); Ta’lim al-Muta'allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin
al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim
wa al-Muta’allim karya Syekh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab, diterbitkan oleh
Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak
pengantar dari para ulama, seperti: Syekh Sa’id bin Muhammad al-Yamani
(pengajar di Masjidil Haram, bermadzhab Syafii), Syekh Abdul Hamid Sinbal
Hadidi (guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syekh Hasan bin Said
al-Yamani (Guru besar Masjidil Haram), dan Syekh Muhammad ‘Ali bin Sa'id al-Yamani.
Selain
kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa NASKAH MANUSKRIP KARYA KH
HASYIM ASY'ARI yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu;
01. Hasyiyah 'ala Fath ar-Rahman
bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syekh al-Islam Zakariya al-Anshari
02. Ar-Risalah at-Tawhidiyah
03. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib
min al-Aqa’id
04. Al-Risalah al-Jama’ah
05. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
06. Al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
07. Manasik Shughra
BERJUANG
MENGUSIR PENJAJAH
Masa awal perjuangan
Kiai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represif-nya perlakuan
penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak
segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pasantren
Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
Pada tahun 1913 M.,
intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng.
Namun dia tertangkap dan di hajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menagkap Kiai Hasyim dengan
tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kiai
Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua
tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.
Belum puas dengan cara
adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk
memporak-porandakan Pasantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya,
hampir seluruh bangunan Pasantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan
serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga
masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942,
Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung,
sehingga secara 'de facto' dan 'de jure', kekuasaan Indonesia berpindah
tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru
bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang
menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk
memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan
represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratusy Syekh beserta sejumlah
putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kiai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan
membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol
penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga
wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali
berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kiai Hasyim menolak
aturan tersebut. Sebab hanya Allah SWT lah yang wajib di sembah, bukan manusia.
Akibatnya, Kiai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai
dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.
Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratusy Syekh berada di pihak yang
benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut di tahan. Selama dalam tahanan,
Kiai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari
tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah penahanan
Hadratusy Syekh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pasantren Tebuireng
vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratusy Syekh tercerai
berai. Isteri Kiai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pasantren
Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus
1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kiai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena
banyaknya protes dari para kiai dan santri. Selain itu, pembebasan Kiai Hasyim
juga berkat usaha dari Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Wahab Hasbullah dalam
menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober
1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang di bentuk oleh pemerintah Belanda
membonceng pasukan sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke
tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kiai Hasyim
bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan
Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya.
Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945
yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari
kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan
gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai
Hari Pahlawan Nasional.
Pada tanggal 7 Nopember
1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat
Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu
langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kiai Hasyim diangkat
sebagai Rois 'Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa perjuangan
mengusir penjajah, Kiai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus
jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan
Mujahidin. Bahkan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk
kepada Kiai Hasyim.
DIPANGGIL
YANG KUASA
Malam itu, tanggal 3
Ramadhan 1366 H., bertepatan dengan tanggal 21 Juli 1947 M. jam 9 malam, Kiai
Hasyim baru saja selesai mengimami shalat Tarawih. Seperti biasa, beliau duduk
di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian,
datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Kiai Hasyim
menemui utusan tersebut didampingi Kiai Ghufron (pimpinan Laskar Sabilillah
Surabaya). Sang tamu menyampaikan surat dari Jenderal Sudirman.
Kiai Hasyim meminta
waktu satu malam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Isi pesan tersebut adalah,
1. Di
wilayah Jawa Timur Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk
merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Basuki, Surabaya, Madura,
Bojonegoro, Kediri, dan Madiun.
2. Hadiratusy
Syekh KHM Hasyim Asy'ari diminta mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak
tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat
statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan
runtuh.
3. Jajaran
TNI di sekitar Jombang diperintahkan membantu pengungsian Kiai Hasyim.
Keesokan harinya, Kiai
Hasyim memberi jawaban tidak berkenan menerima tawaran tersebut.
Empat hari kemudian,
tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M., jam 9 malam, datang lagi utusan
Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang utusan membawa surat untuk disampaikan
kepada Hadratusy Syekh. Bung Tomo memohon Kiai Hasyim mengeluarkan komando
jihad fi sabilillah bagi umat IslamIndonesia, karena saat itu Belanda telah
menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota laskar Hizbullah dan
Sabilillah yang menjadi korban. Hadratusy Syekh kembali meminta waktu satu
malam untuk memberi jawaban.
Tak lama berselang,
Hadratusy Syekh mendapat laporan dari Kiai Ghufron (pemimpin Sabilillah
Surabaya) bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota Singosari Malang
(sebagai basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah jatuh ke tangan
Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian
meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berujar, "Masya Allah, Masya Allah…" sambil memegang kepalanya.
Lalu Kiai Hasyim tidak sadarkan diri.
Pada saat itu,
putra-putri beliau tidak berada di Tebuireng. Tapi tak lama kemudian mereka
mulai berdatangan setelah mendengar ayahandanya tidak sadarkan diri. Menurut
hasil pemeriksaan dokter, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (asemblonding)
yang sangat serius.
Pada pukul 03.00 dini
hari, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, Hadratusy Syekh KH Muhammad Hasyim Asy'ari dipanggil yang Maha Kuasa. Innalillaahi wa
Inna Ilaihi Rooji'uun.
* * *
Atas jasanya
selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947), terutama yang berkaitan
dengan 3 fatwanya yang sangat penting:
- Pertama, perang melawan Belanda
adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam Indonesia.
- Kedua, kaum Muslimin diharamkan
melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda.
- Ketiga, kaum Muslimin diharamkan
memakai dasi dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah.
maka Presiden
Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH Muhammad Hasyim Asy'ari sebagai Pahlawan Nasional.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar